PONDOK PESANTREN TEBUIRENG

Perpustakaan STikes ICme Jombang, STikes ICme Jombang (2019) PONDOK PESANTREN TEBUIRENG. [Image]

[thumbnail of PONDOK.jpg] Image
PONDOK.jpg - Published Version

Download (39kB)
[thumbnail of Thumbnails conversion from image to thumbnail_lightbox] Other (Thumbnails conversion from image to thumbnail_lightbox)
lightbox.jpg

Download (55kB)
[thumbnail of Thumbnails conversion from image to thumbnail_preview] Other (Thumbnails conversion from image to thumbnail_preview)
preview.jpg

Download (28kB)
[thumbnail of Thumbnails conversion from image to thumbnail_medium] Other (Thumbnails conversion from image to thumbnail_medium)
medium.jpg

Download (8kB)
[thumbnail of Thumbnails conversion from image to thumbnail_small] Other (Thumbnails conversion from image to thumbnail_small)
small.jpg

Download (1kB)

Abstract

Berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng tidak bisa lepas dari munculnya pabrik-pabrik milik orang asing di sekitar Cukir. Salah satunya adalah PG Cukir. Secara ekonomis memang menguntungkan, karena ikut mendong-krak ekonomi masyarakat. Namun secara sosial, berdampak buruk pada kehidupan masyarakat. Upah yang diterima pekerja pabrik digunakan untuk foya-foya, berjudi dan minuman keras. Ini yang membuat Kyai Hasyim prihatin. Untuk mencegah budaya buruk itu, Kyai Hasim mendirikan pesantren setelah sebelumnya membeli sebidang tanah milik seorang dalang terkenal di Dusun Tebuireng, Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. Awalnya, hanya sebuah bangunan sederhana yang terbuat dari anyaman bambu (gedek), berukuran 6 X 8 meter yang disekat menjadi dua bagian. Bagian belakang dijadikan tempat tinggal Kiai Hasyim bersama istrinya, Nyai Khodijah, dan bagian depan dijadikan mushala. Saat itu santrinya hanya 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang. Seperti kisah-kisah pejuang Islam lainnya, kehadiran Kiai Hasyim di Tebuireng pada awalnya tidak langsung diterima dengan baik oleh masyarakat. Gangguan, fitnah, hingga ancaman datang bertubi-tubi. Tidak hanya Kiai Hasyim, para santri pun diganggu oleh kelompok-kelompok yang tidak menyukai kehadiran pesantren di Tebuireng. Bentuknya beraneka ragam, seperti dilempari batu, kayu, hingga penusukan dengan senjata tajam ke dinding, sehingga para santri harus tidur berge-rombol di tengah-tengah ruangan, karena takut tertusuk benda tajam. Ketika gangguan semakin membahayakan dan menghalangi sejumlah aktivitas santri, Kiai Hasyim lalu mengutus seorang santri untuk pergi ke Cirebon, Jawa Barat, guna menamui Kiai Saleh Benda, Kiai Abdullah Panguragan, Kiai Samsuri Wanantara, dan Kiai Abdul Jamil Buntet. Keempatnya merupakan sahabat karib Kiai Hasyim. Mereka sengaja didatangkan ke Tebuireng untuk melatih pencak silat dan kanuragan selama kurang lebih 8 bulan. Dengan bekal kanuragan dan ilmu pencak silat ini, para santri tidak khawatir lagi terhadap gangguan dari luar. Bahkan Kiai Hasyim sering mengadakan ronda malam seorang diri. Kawanan penjahat sering beradu fisik dengannya, namun dapat diatasi dengan mudah. Bahkan banyak diantara mereka yang kemudian meminta diajari ilmu pencak silat dan bersedia menjadi pengikut Kiai Hasyim. Sejak saat itu Kiai Hasyim mulai diakui sebagai bapak, guru, sekaligus pemimpin masyarakat.

Item Type: Image
Subjects: H Social Sciences > HV Social pathology. Social and public welfare
Divisions: Images
Depositing User: Repository STIKES ICME Jombang
Date Deposited: 03 Dec 2019 22:30
Last Modified: 03 Dec 2019 22:30
URI: http://repository.itskesicme.ac.id/id/eprint/2906

Actions (login required)

View Item View Item